Adalah kepentingan yang membiaskan segalanya. Bahasa dikemas untuk sesuatu yang disebut membangun citra, menabuh genderang propaganda, ataupun menjadi corong kepentingan yang menguasai. Kompromis, Spekulatif, ataupun diplomatis adalah ungkapan “tengah” untuk menghindar ataupun bertahan. Menghasut, menghina, memfitnah dan menciptakan desas-desus adalah jurus ampuh untuk menyerang.
Kata orang, inilah karakter politisi. Benarkah ? otak bodohku kemudian membenak, jikalau seburuk itu image yang melekat pada peran politisi, mengapa mereka harus dibiarkan yang mulia memerintah, ataupun menjadi wakil rakyat yang disapa, Kepada Yang Terhormat. Awam nya diriku kemudian mulai mencari defenisi para ahli, menggeledah referensi, merilis ulang ingatan di masa sekolah. Membingungkan, ada pengertian semantic, harafiah, etimologis, dan seabrek teori para ahli lainnya. Mulai dari Socrates, Montesque sampai pengertian lugu Daeng Jarre pun aku geledah.
Daeng Jarre, adalah pekerja bangunan. Perawakan kasar dengan kulit kelamnya, nampak terlihat bahwa ia tak memiliki otak yang menyimpan nalar untuk mengurai defenisi politik dalam belantara pengertian yang banyak itu. Usai magrib, akupun menyempatkan diri berkunjung ke gubuk sederhananya yang bersebelahan dengan rumah kontrakanku. Basa-basi, aku mulai berbincang tentang pekerjaannya membangun rumah salah seorang Kepala Dinas di Kotaku. Nampak benar beliau ahli, menggambarkan detail bangunan.
(kosa kata kita, dalam bahasa Makassar adalah berarti Anda atau Kamu. Kita, adalah penyebutan halus dan santun walau sebenarnya tidak sesuai dengan EYD, untuk menujuk orang kedua tunggal . Menyebut dengan Kau atau kamu bagi pendengaran orang Makassar dianggap kasar. Aku juga tidak paham mengapa sebabnya demikian)
“he he he, rahasia pak”
“Kan, sudah berlalu…..”
Aku terus memancingnya, tetapi aku mulai tersadar bahwa Daeng Jarre ini sudah paham apa yang dimaksud Langsung, Umum dan Rahasia. Ia hanya senyum-senyum, aku mengerti bahwa ia tak mungkin memberitahuku. Lagian itupun tidak penting bagiku. Aku ingin kembali kemaksud awal ku. Setelah aku memujinya, karena memagang rahasia pilihan, sedikit aku menjelaskan sederhana kenapa kita harus memilih, untuk apa pilihan itu digunakan. Saya berhasil membuat ter angguk-angguk. Ia pun menghormatiku dengan anggukannya, seolah dia paham, walau aku tahu sebenarnya Daeng Jarre, mulai bosan dan mungkin mengantuk karena sedari pagi menggali pondasi.
“Akh, saya tidak tahu apa gunanya memilih Pak. Saya hanya memilih Partai Anu, karena Calegnya pemurah. Dia memberiku sarung, baju kaos dan amplop Rp. 25.000 di malam pemilihan” Pernyataan Jarre sebenarnya tidak mengejutkanku. Ini politik uang, haram dalam system tetapi lumrah diberlakukan, dan sulit ditemukan buktinya. Ibarat kentut, baunya saja yang terasa menyengat, yang kentut tak bakalan mengaku.
“Jadi karena itu, kita pilih dia ?
“Iye, Pak……” Jarre membenarkan.
“Apakah yang kita pilih itu, sudah pernah berkunjung kerumah ta, setelah Pemilu ?”
(ta’ adalah imbuhan yang tak berlaku dalam Pelajaran Bahasa Indonesia. ta, dalam dialeg Bugis-Makassar menegaskan orang kedua tunggal yang berarti Anda/kamu atau kau. ta, adalahsingkatan dari kita yang sudah dijelaskan sebelumnya)
“Siapa yang mau datang ke rumah jelekku ini Pak, apalagi kalau sudah jadi Anggota Dewan. Mungkin kalau Pemilu lagi, dia akan datang. Namanya juga Pa’ Politi’. He…he….he….”
Politik adalah Seni dan Ilmu untuk berkuasa, pengertian ini yang aku pelajari waktu sekolah. Politik adalah cara mengatur Negara, politik adalah kekuasaan yang melayani rakyat, politik adalah pengabdian, demikian yang aku dengar di kampus. Tapi, ternyata realitasnya, politik itu adalah cara untuk menipu, setidaknya menurut Daeng Jarre, dan aku yakin banyak yang mempersepsikan demikian. Demikian jauhkah jarak antara defenisi para filsuf tentang indahnya politik sebagai seni, dan bermanfaatnya politik sebagai ilmu ? Apakah ini karena kebodohan Jarre, kesalahan defenisi Socrates ataukah prilaku politisi yang mempesepsikan demikian ?
Benakku berputar pening, Otak bodohku kupaksa untuk cerdas, melacak pendapat siapakah gerangan yang harus jadi acuan. Aha, kutemukan secercah pendapat, bahwa wewenang ada karena kekuasaan. Tanpa kekuasaan, anda tak memiliki wewenang itu. Jadilah kesewenang-wenangan terjadi pada yang jelata. Tunggu dulu, rakyat pada hakikatnya adalah pemilik kekuasaan. Hanya saja kekuasaan itu diwakilkan kepada pemerintah yang dipercaya sebagai eksekutor kebijakan. Dan pula mewakilkan aspirasinya ke legislator untuk ditindaklanjuti menjadi keputusan politik untuk kesejahteraan rakyat.
Jalur politik, adalah jalan yang harus ditempuh. Sebuah jalan yang ujungnya adalah pengabdian dan komitmen melayani rakyat dengan baik sebagai pemilik sah kekuasaan. Tentu tujuan mulia, akan berfaedah berkah jikalau jalan mencapainya baik pula.
Aku tak mau merenung lama di depan Daeng Jarre. Kesimpulan yang masih menyisahkan pertanyaan ini aku simpan untuk renungan selanjutnya. Aku pamit pulang dan membiarkan tetanggaku baikku itu, menikmati istirahatnya tanpa memikirkan pembicaraanku barusan. Ia telah melupakan nya, karena memang fokusnya adalah batu bata, semen, tiang pancang, gajian setiap sepuluh hari dan hal lainnya yang berhubungan dengan bangunan. Daeng Jarre adalah seoarang yang ahli bangunan, sekaligus kini menjadi guru ku tentang politik dalam realitas awamnya.
Aku kembali pulang, dan tinggallah saya merenung. Separah itukah…….Kurang ajar betul, Daeng Jarre menyiratkan bahwa Presiden itu, Legislator, Gubernur, Bupati adalah PENIPU. Tetapi sebenarnya siapa yang kurang ajar ? Bingung. Mungkin pula aku yang kurang ajar karena menyimpulkan pernyataan Daeng Jarre seperti demikian. Terserah ! Nah, Loh !?
Andi Harianto
Link : Wikipedia; disinilah aku yang awam ini mengutip apa itu politik
Bantaeng, 07 Mei 2010
Sumber Foto : Ghosye Worldpress, Alhakim, arkapratama,cerita langka, ngobrol aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar