Selasa, 05 Mei 2009

Birahi di Antara Kekuasaan

Pejabat tinggi lembaga anti korupsi bangsa ini tiba-tiba menjadi sangat popluler dan menghiasi berbagai media di tanah air. Popularitas Antasari Azhar kali ini, bukan karena keberaniannya menangkapi pejabat maupun public figure yang terseret korupsi, melainkan karena dirinya yang tak mampu melawan godaan pada syahwat kekuasaan dan cinta.Inilah pelajaran besar. Betapa kekuasaan sangat dekat jaraknya pada ketidakmampuan mengelola harta, sehingga keduanya teramat mudah tergelincir oleh kerlingan wanita. Pameo bahaya tiga "ta", tahta, harta, dan wanita, kini menjadi kenyataan.

Sebuah ironi membungkam karir dan nama baik seorang Antasari Azhar, tokoh pemberantas kejahatan keuangan negara ini justru terhempas oleh isu kurang sedap; akibat terlibat cinta wanita cantik dan berujung maut pada diri Nasrudin.

Wanita memang bisa membutakan, juga mampu memendekkan perhitungan seseorang. Menengok sejarah romantika kekuasaan di kerajaan Romawi, Julius Caesar harus tunduk pada kemolekan Cleopatra tanpa perlu memperhitungkan akal sehatnya.

Kekuasaan begitu mudah berpindah atau peta politik bisa berubah drastis karena wanita. Di Indonesia, belum hilang di ingatan bangsa ini, seorang legislator DPR RI yang tidak hanya tampak idealis tapi juga agamis, justru ambruk akibat ketahuan bermain "api" dengan seorang aktris yang juga aktivis politik partai.

Tanpa bermaksud memojokkan kaum Hawa, kenyataan ini sesungguhnya merupakan peringatan bagi siapa saja, wanita maupun kaum Adam, agar senaniasa mengedepankan profesionalisme tanpa mau pasrah pada godaan birahi secara timbal balik.

Seksualitas tentu tidak pantas dipersalahkan dalam hal ini. Dia menjadi sesuatu yang sangat alamiah, manusiawi dan patut dibicarakan. Hanya saja, sudah berbeda bila hal itu memasuki wilayah-wilayah perebuatan kekuasaan dan pengaruh. Atau bahkan menjadi semacam “umpan” atas maksud tertentu bagi para aktornya.

Kekuasaan sangat mungkin disalahgunakan. Sementara kekayaan senantiasa mendesak-desak pemiliknya untuk menggapai apapun. Nah, apa jadinya bila kekuasaan dan kekayaan mewujud dalam satu bangunan tubuh yang ambisius. Akibatnya bisa berbahaya dan mengerikan.

Tragedi terbunuhnya Nasrudin, lalu mengaitkan keterlibatan bos KPK Antasari Azhar itu, adalah potret bangunan kekuasaan dan kekayaan di tubuh yang keliru. Hasilnya; miris, kejam, bengis, dan menghentak sisi kemanusiaan kita, tak ada yang bisa lepas dari khilaf .

Karena itu, maka kepada kita semua, terutama mereka yang baru saja terpilih atau akan terpilih sebagai pemimpin publik, pelajaran demi pelajaran yang dipertontonkan sejarah hendaknya benar-benar menjadi pelajaran berharga. Jangan sampai lewat begitu saja tanpa usaha berkaca kepadanya.

Menjadi pemimpin publik harus berani menanggung risiko kehilangan sebagian besar hak privasinya. Sebab mereka sudah menjadi bagian dari publik. Sehingga sosoknya senantiasa merupakan teladan yang harus bercitrakan baik. (^^)
(Dikutip pada Harian Fajar: 05 May 2009,)

Tidak ada komentar: