Jumat, 16 Januari 2009

PENDIDIKAN POLITIK, PARPOL DAN PEMILU 2009

OLEH : Josef Christofel Nalenan
(Manajer Riset dan Pengembangan JPPR)

Kampanye untuk Pemilu Legislatif yang akan berlangsung pada tanggal 9 April 2009 telah dimulai sejak hari Sabtu tanggal 12 Juli 2008. Kampanye ini diikuti oleh 34 Parpol peserta Pemilu 2009. Kampanye yang dimulai 9 bulan sebelum hari pemilihan ini diharapkan oleh berbagai pihak termasuk oleh pihak KPU dijadikan ajang oleh pihak Parpol, tidak hanya untuk melakukan sosialisasi tapi juga untuk melakukan pendidikan poltik kepada masyarakat. Bisakah harapan untuk melakukan pendidikan politik yang bertujuan agar Pemilu 2009 bisa berlangsung dengan damai dan menghasilkan para wakil rakyat dan pemimpin yang absah dan berkualitas itu dibebankan kepada Parpol belaka. Pengalaman demokrasi Indonesia yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun menyatakan bahwa pekerjaan maha besar tersebut yaitu melakukan pendidikan politik yang masif kepada masyarakat Indonesia tidak bisa diserahkan hanya kepada Parpol saja.

Dalam sebuah diskusi yang diadakan Indonesian Research and Development Institute (IRDI) sekitar dua bulan yang lalu berkaitan dengan launching survey popularitas calon Presiden, penulis mengusulkan agar pendidikan politik dilakukan oleh semua pihak termasuk oleh lembaga penelitian. Namun usul penulis ini diprotes oleh profesor Riset Syamsuddin Haris dari LIPI, dia berargumen jika tugas pendidikan politik adalah tugas dari Parpol semata dan oleh karena itu harus dibebankan kepadanya. Penulis sendiri sangat insyaf mengenai salah satu tugas parpol tersebut yang memang ada hampir di seluruh buku pengantar ilmu politik yang ada baik yang dibuat oleh pengarang luar negeri maupun dalam negeri.Tetapi harus disadari bahwa Parpol di Indonesia sudah sedari dulu tidak menjalankan fungsi-fungsinya seperti yang ditekankan oleh para ahli politik, seperti melakukan pendidikan politik, komunikasi politik dan penengah konflik; parpol di Indonesia hanya berperan sebagai alat pencari dan mengakumulasi kekuasaan belaka, oleh karena itu walau saat ini Parpol sudah diharuskan oleh Undang-undang No.2 Tahun 2008 tentang Parpol untuk melaksanakan pendidikan politik tetap saja penulis pesimis, Parpol akan menjalankan tugasnya untuk melakukan pendidikan politik dengan baik.

Oleh karena itu bagi penulis keadaan di Indonesia saat ini adalah keadaan yang tidak normal atau Force Major, sehingga tugas melakukan pendidikan politik tidak bisa diserahkan hanya kepada Parpol namun juga dilakukan oleh aktor lain. Siapakah aktor tersebut ? Jawaban untuk pertanyaan ini saya kira sangatlah mudah, sejak 10 tahun lalu, demokrasi di Indonesia bertahan bukan karena kekuatan Parpol, tetapi karena kinerja Civil Society yang bekerja tanpa henti terutama di tingkatan akar rumput dalam menyebarkan nilai-nilai demokrasi. Civil Society lebih efektif dalam melakukan pendidikan politik dikarenakan Civil Society tidak mengharapkan kekuasaan sementara Parpol di Indonesia setiap kerjanya ditujukan untuk memperoleh kekuasaan.Yang termasuk civil society dalam hal ini adalah LSM, media, Ormas, termasuk juga lembaga penelitian dan lembaga pemantau independen. Kelompok civil society ini lah yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam melakukan pendidikan politik menjelang berlangsungnya pemilu 2009.

Penulis masih teringat ketika dulu pada tahun 1980-an ketika itu lembaga penelitian LP3ES yang dimotori oleh Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae dan lain-lain, berusaha melakukan pendidikan politik kepada masyarakat yang berada di bawah kekuasaan rezim otoriter orde baru, saat itu parpol tidak bisa diharapkan karena dikooptasi oleh rezim. Usaha itu cukup berhasil, Majalah Prisma sebagai media LP3ES melakukan pendidikan politik laku keras di masyarakat dan menjadi bacaan wajib tidak hanya oleh para aktivis dan akademisi di kampus tapi juga sampai para pedagang asongan, yang membaca Prisma untuk menemaninya berjualan.Saat ini kondisinya hampir sama, bedanya jika dulu parpol dikooptasi rezim saat ini parpol dikooptasi oleh elite politik yang membajak parpol untuk menjadi alat memperoleh kekuasaan.

Penulis optimis jika dilakukan dengan masif dan pendekatan yang tepat, maka pendidikan politik yang dilakukan oleh civil society akan berhasil dan bisa mendorong pelembagaan demokrasi yang kokoh di Indonesia. Berdasarkan pengalaman Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) pendekatan dialog adalah cara yang cukup efektif dalam melakukkan pendidikan politik. Untuk pemilu 2009 dialog-dialog dengan warga harus dilakukan secara massal khususnya di tingkat desa di seluruh Indonesia, setiap desa bisa membuat komunitas-komunitas dialog yang beranggotakan sekitar 30-50 orang. Pengorganisasian komunitas-komunitas dialog ini dilakukan oleh kelompok civil society dengan bekerjasama dengan tokoh maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan tingkat desa. Dengan dialog-dialog yang intensif maka rakyat akan semakin terdidik dan mengetahui dengan baik nilai-nilai demokrasi, di mana masyarakat bukan hanya mengenal demokrasi yang prosedural tetapi juga demokrasi yang substansial.

Tidak ada komentar: