Selasa, 27 Januari 2009

Ditentang Parpol, KPU Tetap Jalan

Senin, 26-01-09 | 16:42 | 166

JAKARTA - Penolakan sejumlah parpol tak membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) surut. Lembaga penyelenggara pemilu itu akan terus memperjuangkan terealisasinya kursi ketiga bagi calon legislator perempuan.

Perjuangan affirmative action (tindakan khusus sementara) bagi kaum perempuan tersebut akan tetap ditindaklanjuti dalam perppu. "Selama itu belum ditolak (pengajuan perppu) ya kami terus usulkan," kata Abdul Hafiz Anshary, ketua KPU, di Jakarta, kemarin (25/1).

Hafiz mengakui, usul tersebut menimbulkan pro-kontra. Dalam pertemuan KPU dengan parpol pada Sabtu (24/1), sejumlah wakil partai memang menyatakan penolakan atas penetapan affirmative action. Mereka berpendapat bahwa aturan tersebut tidak sesuai dengan suara terbanyak sebagaimana putusan MK.

Meski begitu, ada juga yang mendukung agar KPU menetapkan aturan itu. "Lucunya, yang menolak para perwakilan laki-laki semua, terus yang mendukung perempuan semua," ujarnya.

Tidak hanya oleh para caleg, para pengamat juga memiliki pendapat beragam. Beberapa pengamat menilai, aturan itu berpotensi besar untuk digugat saat penetapan caleg terpilih nanti. Namun, beberapa juga menilai bahwa aturan itu sebaiknya ada demi menjaga semangat affirmative action di UU pemilu.

Karena itu, hingga saat ini pleno KPU belum memutuskan untuk mencabut usul tersebut. Menurut Hafiz, usul itu merupakan bagian dari aspirasi yang berkembang. Kini giliran pemerintah dan DPR memutuskan apakah akan memasukkan wacana tersebut menjadi bagian dalam perppu atau tidak. "Sekarang bergantung komitmen para legislator. Usul itu ada karena semangat UU pemilu, kami hanya eksekutor," jelasnya.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan, pro-kontra atas usul sistem zipper yang diajukan KPU hanya menyita energi lembaga tersebut. Padahal, perhatian dan konsentrasi KPU seharusnya tetap difokuskan pada masalah teknis penyelenggaraan pemilu. "Karena risiko yang terlalu besar terhadap penyelenggaraan pemilu, sudah seharusnya KPU membatalkan usul tersebut," tegasnya.

Menurut dia, perlu dicari formula baru untuk tetap tidak mengingkari upaya affirmative action terhadap keterwakilan perempuan di parlemen. Tidak memiliki risiko bertentangan dengan prinsip dan peraturan kenegaraan. "Misalnya, dengan melakukan moratorium parpol," usulnya.

Yaitu, mendorong kerelaan parpol untuk menyerahkan kursi yang didapat di sebuah dapil kepada caleg perempuan sesuai sistem zipper (selang-seling). "Ini lebih aman karena tidak membutuhkan perubahan aturan, hanya kesepakatan parpol," ujar Ray. (bay/dyn)(dikutip dari http://www.fajar.co.id/)

Tidak ada komentar: