Selasa, 05 Mei 2009

Pemilu dan Pemerintahan Ekokrasi

Jumat, 01/05/2009 14:48 WIB

Yandhi Hermawandi - detikPemilu

Jakarta - Bukan saja golongan miskin yang mesti dipersalahkan (orang jika terpojok dapat bersikap nekad), tapi juga sebagian orang mampu yang serakah dan sering tak malu memanfaatkan si miskin dalam usaha menaikan hasil tanpa memperhatikan kelestarian alam, tulis Sajogyo dalam bukunya yang sempat menjadi kontroversial di zaman Orde Baru (Sajogyo (Ed.) Ekologi Pedesaan, Sebuah Bunga Rampai, CV Rajawali, 1982).

Pernyataan di atas merupakan sindiran Profesor Sajogyo terhadap pemerintah Indonesia seperempat abad silam. Dalam buku yang disuntingnya tersebut, Sajogyo mengingatkan pemerintah (Orde Baru) ketika itu bahwa model pembangunan yang dijalankan negara ini, yang terus menerus mengeksploitasi sumber daya alam, hanya akan menciptakan disharmonisasi dan pengrusakan terhadap lingkungan. Golongan miskin yang dimaksud Sajogyo adalah kelompok petani di pedesaan.

Kepolosan dan keluguan mereka yang selalu dijadikan kambing hitam dalam hal apapun termasuk jika terjadi kerusakan lingkungan. Padahal menurutnya, orang mampu (elite politik, pemerintah) yang serakah dan tak punya malu yang sering memanfaatkan petani pedesaan dalam usaha menaikan keuntungan tanpa memperhatikan kelestarian alam.

Sejak awal tahun 1970-an di beberapa negara termasuk Indonesia, lingkungan hidup telah kehilangan nilai estetika dan etikanya sebagai akibat dari kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak berorientasi pada pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA). Kebijakan pemerintah lebih mengarah pada eksploitasi dan eksplorasi SDA yang ada secara besar-besaran dan tidak terencana.

Tujuannya hanya semata-mata untuk mendapatkan devisa bagi Negara. Sebagai contoh di tahun 1979, kayu-kayu dari Kalimantan menghasilkan US $3,2 milyar hasil ekspor kayu, yang hampir separuhnya ke Jepang. Menarik untuk diperhatikan di sini, karena Jepang sendiri merupakan negara penghasil kayu (dua pertiga tanahnya diliputi hutan). Pada tahun 1979, Jepang mengimpor kayu senilai US $7,3 milyar, antara lain dari Indonesia sekitar 21% sehingga setiap tahunnya Jepang dapat membangun satu setengah juta rumah baru di negerinya (Sajogyo, 1987).

Dalam konteks kekinian, terbukti kekhawatiran Sajogyo benar adanya. Kerusakan hutan parah terjadi di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Kerusakan lingkungan hidup tersebut terjadi karena ketidakkonsistenan penanggung jawab usaha dan kegiatan sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan dengan tidak menegakan aturan hukum yang telah ditentukan secara tegas seperti dalam aturan Hak Pengelolaan Hutan dan Hak Eksplorasi dan Eksploitasi Pertambangan.

Dengan demikian, Pemerintah sebagai pemegang kewenangan melaksanakan dan menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup diharapkan mampu menjaga dan mengelola lingkungan hidup dan SDA ini dengan baik. Bisakah momentum pemilu 2009 sebagai festival pemilihan para calon pemimpin bangsa ke depan menjadi harapan pengembalian bangsa Indonesia atas kerusakan lingkungan hidup yang selama ini telah terjadi?

Pemerintahan Ekokratis

Masyarakat Indonesia harus memilih para calon pemimpin bangsa ke depan yang berani berkomitmen membangun pemerintahan ekokratis (ecocratic/ ecocracy). Pemerintahan ekokrasi adalah pemerintahan yang memiliki visi pembangunan bangsa yang berlandaskan pada pelestarian lingkungan.

Profesor filsafat lingkungan dan etika dari Wesleyan University dan New York University, Lori Gruen dan Dale Jamieson dalam bukunya Reflecting on Nature, Readings in Environmental Philosophy, menerangkan bahwa pada mulanya diskursus pemerintahan ekokrasi ini dikaji pada tahun 1990-an di negara-negara industrialisasi seperti Amerika Serikat. Pemerintahan ekokrasi ini memfokuskan perhatiannya pada perkawinan konsep antara lingkungan hidup (environment) dan pembangunan
(development) dalam sebuah kebijakan.

Dengan mencari pembenarannya pada teori-teori mengenai kelestarian ekosistem, pemerintahan ekokrasi diharapkan dapat menerapkan kebijakan baru yang lebih berpihak pada lingkungan pada proses monitoring dan pengontrolan (control) terhadap pemanfaatan lingkungan hidup dan eksplorasi sumber daya alam.

Dengan demikian, pemerintahan ekokratis dapat memberikan pertanggungjawaban ekologis (lingkungan hidup) kepada rakyatnya. Memang, tradisi pertanggungjawaban ekologis oleh pemerintah kepada rakyatnya belum ada hingga kini di Indonesia. Pertanggungjawaban yang ada hanyalah sebatas pertanggungjawaban politik dan keuangan. Padahal efek dari kesalahan kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup berdampak besar.

Dampak kesalahan kebijakan ekologi ini tidak hanya akan menimbulkan kerusakan lingkungan semata, melainkan menimbulkan pada pelanggaran hak asasi manusia. Dampak dari kesalahan kebijakan ini tidak hanya akan menyebabkan terjadinya bencana yang mengakibatkan kerugian harta benda seperti tergusurnya suatu kelompok masyarakat dari wilayahnya sehingga kehilangan sumber-sumber kehidupannya, tapi juga bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.

Dengan adanya pemilu 2009 ini, perlu kiranya didesakkan pertanggungjawaban ekologis dan komitmen pembangunan pemerintahan ekokratis kepada para calon pemimpin bangsa ini. Agar pelanggaran hak asasi manusia seperti kerugian materi dan hilangnya nyawa-nyawa akibat kebijakan yang salah pada lingkungan tidak terjadi, sudah sepantasnya masyarakat Indonesia menuntut para calon legislatif dan presiden di pemilu 2009 ini untuk komitmen pada pembangunan pemerintahan ekokratis, bisakah?

*) Yandhi Hermawandi, Penulis adalah Pemerhati Kepemimpinan Politik dan Lingkungan Hidup. Aktif di Lead Institute Universitas Paramadina dan bekerja sebagai editor buku di penerbit Rajagrafindo Persada.

Surat Suara Pilpres Hanya Satu Muka

Rabu, 6 Mei 2009 | 23:47 WITA

JAKARTA, TRIBUN - Rapat konsultasi antara pimpinan DPR, Depdagri, KPU, dan Komisi II DPR menyepakati desain surat suara untuk pemilihan presiden dan wakil presiden Juli mendatang hanya satu muka. Surat suara pada pemilu legislatif menggunakan dua muka alias timbal balik.

Hasil rapat konsultasi itu diungkapkan Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshary, seusai rapat di Ruang Pansus B, Gedung DPR, Selasa (5/5). Surat suara satu muka, dijelaskan Hafiz, berbeda dengan surat suara pemilu legislatif lalu. Surat suara pemilu legislatif memiliki dua muka.
"Kita hanya konsultasi, ada surat suara yang dua muka dan satu muka. Kalau dua muka berarti sama dengan legislatif. Tapi tadi yang disepakati satu muka, agar efisien," kata Hafiz.
Pada desain surat suara tersebut, baik judul surat suara maupun gambar calon, berada pada satu halaman yang sama. Surat suara satu muka ini diyakini lebih murah dan lebih mudah dalam pencetakannya.
Sesuai ketentuan UU No 42 tahun 2008, untuk penentuan format dan desain surat suara pemilihan presiden dan wakil presiden, KPU harus berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR. Setelah diperoleh masukan dan kata sepakat, KPU akan menindaklanjuti dengan peraturan KPU.
Cek di RT
Menghadapi pilpres, masyarakat diminta mengecek nama mereka di daftar pemilih sementara (DPS) yang akan digunakan dalam pemilu presiden mendatang. Masyarakat cukup mengeceknya ke lingkungan RT/RW setempat. Bisa di rumah ketua RT/RW atau di balai yang ditunjuk.

Anggota KPU, Endang Sulastri, mengingatkan pengecekan nama ini untuk mendorong masyarakat berpartisipasi aktif dalam pemutakhiran daftar pemilih menjelang waktu pengumuman DPS yang dijadwalkan pada 11-17 Mei.
"Pengumuman tidak hanya dilaksanakan di PPS atau kelurahan, tapi juga di tingkat RT/RW sehingga masyarakat lebih dekat untuk mencermati," tutur Endang dalam peluncuran pesan singkat pemutakhiran DPS di Hotel Borobudur, Selasa (5/5), seperti dikutip Kompas.com.(lim)

Birahi di Antara Kekuasaan

Pejabat tinggi lembaga anti korupsi bangsa ini tiba-tiba menjadi sangat popluler dan menghiasi berbagai media di tanah air. Popularitas Antasari Azhar kali ini, bukan karena keberaniannya menangkapi pejabat maupun public figure yang terseret korupsi, melainkan karena dirinya yang tak mampu melawan godaan pada syahwat kekuasaan dan cinta.Inilah pelajaran besar. Betapa kekuasaan sangat dekat jaraknya pada ketidakmampuan mengelola harta, sehingga keduanya teramat mudah tergelincir oleh kerlingan wanita. Pameo bahaya tiga "ta", tahta, harta, dan wanita, kini menjadi kenyataan.

Sebuah ironi membungkam karir dan nama baik seorang Antasari Azhar, tokoh pemberantas kejahatan keuangan negara ini justru terhempas oleh isu kurang sedap; akibat terlibat cinta wanita cantik dan berujung maut pada diri Nasrudin.

Wanita memang bisa membutakan, juga mampu memendekkan perhitungan seseorang. Menengok sejarah romantika kekuasaan di kerajaan Romawi, Julius Caesar harus tunduk pada kemolekan Cleopatra tanpa perlu memperhitungkan akal sehatnya.

Kekuasaan begitu mudah berpindah atau peta politik bisa berubah drastis karena wanita. Di Indonesia, belum hilang di ingatan bangsa ini, seorang legislator DPR RI yang tidak hanya tampak idealis tapi juga agamis, justru ambruk akibat ketahuan bermain "api" dengan seorang aktris yang juga aktivis politik partai.

Tanpa bermaksud memojokkan kaum Hawa, kenyataan ini sesungguhnya merupakan peringatan bagi siapa saja, wanita maupun kaum Adam, agar senaniasa mengedepankan profesionalisme tanpa mau pasrah pada godaan birahi secara timbal balik.

Seksualitas tentu tidak pantas dipersalahkan dalam hal ini. Dia menjadi sesuatu yang sangat alamiah, manusiawi dan patut dibicarakan. Hanya saja, sudah berbeda bila hal itu memasuki wilayah-wilayah perebuatan kekuasaan dan pengaruh. Atau bahkan menjadi semacam “umpan” atas maksud tertentu bagi para aktornya.

Kekuasaan sangat mungkin disalahgunakan. Sementara kekayaan senantiasa mendesak-desak pemiliknya untuk menggapai apapun. Nah, apa jadinya bila kekuasaan dan kekayaan mewujud dalam satu bangunan tubuh yang ambisius. Akibatnya bisa berbahaya dan mengerikan.

Tragedi terbunuhnya Nasrudin, lalu mengaitkan keterlibatan bos KPK Antasari Azhar itu, adalah potret bangunan kekuasaan dan kekayaan di tubuh yang keliru. Hasilnya; miris, kejam, bengis, dan menghentak sisi kemanusiaan kita, tak ada yang bisa lepas dari khilaf .

Karena itu, maka kepada kita semua, terutama mereka yang baru saja terpilih atau akan terpilih sebagai pemimpin publik, pelajaran demi pelajaran yang dipertontonkan sejarah hendaknya benar-benar menjadi pelajaran berharga. Jangan sampai lewat begitu saja tanpa usaha berkaca kepadanya.

Menjadi pemimpin publik harus berani menanggung risiko kehilangan sebagian besar hak privasinya. Sebab mereka sudah menjadi bagian dari publik. Sehingga sosoknya senantiasa merupakan teladan yang harus bercitrakan baik. (^^)
(Dikutip pada Harian Fajar: 05 May 2009,)