Rabu, 09 September 2009

Sketsa Pemilu 2009


Jakarta
- Penghitungan kursi tahap kedua menimbulkan masalah. Karena MK tidak menghapus pasal kontroversial, maka putusan MA tentang kesalahan KPU menjabarkan pasal itu, masih berlaku. Terjadi ketidakpastian hukum. Tiga partai besar akan terus menyoal.

Dari empat variabel teknis pemilu, yang paling banyak diubah oleh MK pada Pemilu Legislatif 2009 adalah variabel keempat, yaitu formula perolehan kursi dan penetapan calon terpilih. Inilah wilayah akhir proses perebutan kursi, sehingga ketidakjelasan aturan main mengundang MK untuk lebih banyak campur tangan.

Berlarut-larutnya penetapan perolehan kursi partai politik untuk pemilu DPR dan penetapan calon terpilihnya, bersumber pada wilayah ini. Sesungguhnya MK sudah melakukan berbagai macam terobosan untuk mengatasi masalah ini, namun itu semua tidak mampu mendorong KPU berkerja tepat waktu.

Sebagaimana kita tahu, semua undang-undang pemilu kita memakai metode kuota sebagai dasar menghitung perolehan kursi. Dalam hal ini undang-undang pemilu menyebutnya sebagai bilangan pembagi pemilihan (BPP). BPP adalah jumlah suara sah yang diperoleh partai politik dibagi jumlah kursi di setiap daerah pemilihan.

Berbeda dengan UU No. 12/2003 yang pembagian kursi habis di daerah pemilihan, UU No. 10/2009 membuat pengaturan lebih rumit, yakni menarik sisa kursi dan sisa suara ke provinsi, khususnya bagi provinsi yang memiliki lebih dari satu daerah pemilihan. Alasannya demi meningkatkan proporsionalitas, meski hal itu sulit tercapai.

Karena sisa suara dan sisa kursi ditarik ke provinsi, maka di sini ditentukan BPP baru, yakni jumlah sisa suara seluruh partai di provinsi dibagi dengan jumlah sisa kursi di provinsi. BPP baru inilah yang menjadi dasar untuk menghitung sisa kursi yang tak habis dibagi di daerah pemilihan.

Namun setelah diketahui partai mana yang memperoleh kursi, penempatan tetap dikembalikan ke daerah pemilihan yang masih mempunyai sisa kursi. Dengan cara ini, pembuat undang-undang bermaksud menjaga konstituenitas wakil rakyat. Maksudnya, setiap wakil rakyat jelas posisinya mewakili daerah pemilihan mana.

Dengan skema perolehan seperti itu, UU No. 10/2008 membagi tiga penghitungan perolehan kursi partai politik. Penghitungan Tahap Pertama dan Penghitungan Tahap Kedua dilakukan di daerah pemilihan, sedang Penghitungan Tahap Ketiga dilakukan di provinsi.

Penghitungan Tahap Pertama tidak ada masalah, karena penghitungan ini diperuntukkan buat partai yang memperoleh suara sebanyak BPP atau lebih. Dengan demikian kuotanya utuh satu kursi. Masalahnya selalu ada sisa kursi yang belum terbagi, sehingga perlu dilakukan Pengitungan Tahap Kedua. Bagaimana aturannya, bisa dibaca pada Pasal 205 ayat (4) UU No. 10/2008.

"Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratur) dari BPP DPR."

Itu artinya, Penghitungan Tahap Kedua hanya diikuti oleh partai politik yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% BPP. Jadi, partai yang tidak mencapai suara sekurangnya 50% BPP, tidak bisa mengikuti Penghitungan Tahap Kedua, alias tidak mendapatkan kursi.

Namun ketentuan itu dijabarkan secara berbeda oleh KPU. Lewat Peraturan KPU No. 15/2009 tentang Pedoman Teknis Pengumuman Hasil Pemilu, Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih, KPU mengubah frase "memperoleh suara sekurang-kurangnya 50%BPP" menjadi "memperoleh sisa suara sekurang-kurangnya 50% BPP."

Dengan ketentuan itu, implikasiya berbeda. Partai yang menurut teks asli tidak bisa mengikuti Penghitungan Tahap Kedua, menjadi bisa mengikuti; sebaliknya partai yang telah memperoleh kursi pada Penghitungan Tahap Pertama peluangnya kecil untuk mendapatkan kursi tambahan bila sisa suaranya tak mencapai 50% BPP.

Beberapa calon anggota legislatif yang dirugikan oleh Peraturan KPU No. 15/2009 itu lalu meminta kepada Mahkamah Agung (MA) untuk meninjau kembali peraturan KPU. Ternyata permintaan itu dikabulkan, sehingga MA memerintahkan kepada KPU untuk mengoreksi peraturannya, dengan tetap berpegang pada Pasal 205 ayat (4).

Jika putusan MA itu dijalankan oleh KPU, maka akan terjadi perubahan komposisi perolehan kursi yang signifikan. Partai-partai yang meraih suara besar, dalam hal ini Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDIP, jumlah kursinya akan bertambah banyak; sebaliknya partai menengah dan kecil, kursinya akan berkurang.

Terjadilah ketegangan politik. Di satu pihak, sejumlah pimpinan partai dan pemantau memintah agar KPU tak menaati putusan MA; di lain pihak, sejumlah partai mendesak KPU untuk melaksankan putusan MA, apapun risiko politiknya. Yang pertama mengabaikan prinsip hukum, yang kedua mengabaikan potensi konflik politik.

Partai-partai yang dirugikan oleh putusan MA itu lantas mengajukan permohonan ke MK untuk mengubah atau sekalian menghapus ketentuan Pasal 205 ayat (4), agar putusan MA tidak punya dasar hukum lagi.

Namun dalam putusannya, MK tidak menghapus ketentuan tersebut. Menurut MK, Pasal 205 ayat (4) adalah konstitusional bersyarat. Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua dilakukan sesuai dengan rumusan yang ditentukan oleh MK. Dengan kata lain, MK tidak menghapus pasal, tetapi memberi tafsir baru.

Apa yang disebut dengan tafsir baru itu sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan tafsiran KPU sebagaimana tertuang dalam Peraturan KPU No. 15/2009. Dengan kata lain, MK menganggap peraturan KPU sudah dalam jalur yang benar, sehingga secara otomatis bisa mengabaikan putusan MA.

Namun sesungguhnya putusan MA masih bisa berlaku. Sebab, Pasal 205 ayat (4) UU No. 10/2008 yang menjadi pijakan MA untuk menyalahkan peraturan KPU itu masih ada, masih eksis, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjalankan putusan MA. Oleh karena itu bisa dimengerti bila Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDIP mendesak KPU untuk melakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua sesuai dengan putusan MA.

Jadi, menurut saya, putusan MK yang memberikan langkah pengaturan Penghitungan Tahap Kedua masih menyisakan masalah, sebab MK ternyata tidak menghapus pasal dan ayat yang kontroversial, melainkan hanya memberikan tafsir baru. Celakanya tafsir baru ini berbeda dengan tafsirnya MA. Apa boleh buat, tetap terjadi ketidakpastian hukum.

Seorang kawan ahli hukum tata negara menganggap saya sesat pikir; tidak memahami bagaimana kerangka kerja MK yang punya kewenangan untuk menafsir konstitusi.

Ya, kalau MK menafsirkan konstitusi untuk menilai undang-undang itu bertentangan denan konstitusi, atau tidak, itu memang kewenangannya. Tapi kalau lembaga itu menafsirkan pasal undang-udang untuk diterjemahkan ke peraturan lain, apa itu tidak bisa disebut telah mengambil kewenangan MA, sekaligus merendahkan derajat lembaga?

Masalahnya disederhankan saja. MK menghapus Pasal 205 ayat (4) sehingga putusan MA dengan sendirinya tidak berlaku. Selanjutnya MK bisa mendesak KPU untuk bikin peraturan baru. Presedennya sudah ada, yakni pada saat MK menghapus Pasal 214 UU No. 10/2008 yang mengatur tentang penetapan calon terpilih, dan meminta KPU untuk membuat ketentuan-ketentuan baru berdasarkan pertimbangan putusan MK.


*) Didik Supriyanto adalah Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)


(diks/asy)

1 komentar:

lawan.us mengatakan...

semoga aja kpu dapat bekerja maksimal jangan yang sudah2?????