Senin, 19 Januari 2009

Pendidikan Pemilih pada Pemilu 2009 dengan Basis Evaluasi Pemilu 2004


Oleh Drs. M. Mufti Syarfie, MM[2]

Pendahuluan

Amanah konstitusi menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, artinya rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis paling kurang dalam dua hal yaitu memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh komponen masyarakat, kedua untuk memilih wakil rakyat yang akan ditugasi mengawal dan mengawasi jalannya pemerintahan

Cara perwujudan kedaulatan tersebut, adalah melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan ditugasi menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi politik masyarakat, membuat undang-undang, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi di atas. Target utama dalah kesejateraan rakyat.

Di sisi lain, pemilu DPR, DPD, DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota dengan azas luber dan jurdil di setiap lima tahun sekali, dilaksanakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang memberikan jaminan setiap warga terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan.

Dengan azas langsung, rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai keinginannya, tanpa perantara. Azas umum menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga tanpa diskriminasi.

Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil memberikan dampak positif dalam penguatan demokrasi baik di tingkat lokal maupun nasional. Masyarakat diberikan hak suara untuk memilih calon, maupun partai politik yang mereka nilai akan mampu memperjuangkan aspirasinya apabila nantinya terpilih dalam pemilu. Pemilih dituntut cerdas untuk bisa memilih dan menilai dengan baik dan cermat siapa wakil rakyat yang pantas dan bisa memperjuangkan aspirasinya. Hal ini dapat diartikan bahwa pemilih haruslah mempunyai pengetahuan yang baik mengenai hak dan kewajibannya dalam pemilu sehingga tumbuh suatu kesadaran yang tinggi akan pentingnya keikutsertaan dalam pemilu. Meningkatnya kesadaran dan keikutsertaan atau partisipasi politik publik serta pengetahuan yang baik dalam pemilu akan dapat mewujudkan suatu pemilihan umum yang berkualitas.

Pemilih dalam Pemilu

Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas ) tahun atau sudah / pernah kawin mempunyai hak untuk memilih. Dalam hal ini, warga negara dapat menggunakan hak untuk memilih jika telah terdaftar sebagai pemilih dan memenuhi syarat-syarat yaitu nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan. Hak untuk memilih harus dilaksanakan dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab.

Fungsi Pendidikan Pemilih

Berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2004, baik pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota, maupun pemilu presiden dan wapres (putaran pertama dan putaran kedua), ditemukan kecenderungan perbaikan kualitas penerimaan dan pemahaman masyarakat (Sumatera Barat), terhadap proses teknis pemberian suara. Sejak awal penyelenggara pemilu (KPU, KPU Prov, Kab/Kota dan kepanitiaan) di tingkat bawah menyadari, bahkan sempat mengkhawatirkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap proses teknis pemilu itu sendiri rendah.

Dasar kekhawatiran itu antara lain, selain perangkat undang-undang politik baru, masyarakat juga dihadapkan pada sistem pemilihan yang baru pula. Pertama kali diperkenalkan sistim pemilu proporsional terbuka untuk memilih anggota dewan perwakilan dan sistem distrik berwakil banyak untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masyarakat (pemilih) disuguhkan juga dengan kerumitan cara mengimplementasikan pilihannya. Selain mencoblos tanda gambar juga dianjurkan mencoblos nama calon di yang ada di surat suara. Menyadari hal tersebut, KPU Provinsi dan Kab/Kota di Sumatera Barat, berupaya mengajak dan membuka berbagai kesempatan kepada kelompok kelompok masyarakat dan kelompok profesional, seperti LSM, PWI dan lembaga pemerintahan untuk melakukan sosialisasi yang kemudian menjadi bagian dari upaya pendidikan pemilih.

Sasaran utama, tidak hanya masyarakat pemilih secara umum, tapi memberikan prioritas kepada kelompok potensial, seperti pemuka masyarakat, para guru, niniak mamak dan alim ulama dibekali proses teknis penyelenggaraan pemilu tersebut, untuk mengejar pemilih pemula.

Hasil sosialisasi dan pendidikan pemilih bisa dilihat, baik dari perbandingan angka partisipasi pemilih, maupun dari tingkat kesalahan coblos (suara sah dan tidak sah) di antara tiga kali pemilihan pada tahun 2004 lalu (Pileg, Pilpres I dan II). Pada Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD Prov, Kab/Kota persentase suara sah (betul cara mencoblos) 91.04% (8,96% suara tidak sah) pada putaran pertama Pilpres, meningkat menjadi 98,26% (1.74% tidak saha) dan putaran kedua, naik lagi menjadi 98,52% (1,49% suara tak sah). Hasil ini mengembirakan. Paling tidak bisa ditarik kesimpulan sangat sederhana, bahwa pemahaman masyarakat pemilih terhadap cara mencoblos yang benar, semakin membaik dari satu pemilihan ke pemilihan lain.

Namun di sisi lain kita kembali khawatir setelah disuguhi angka partisipasi pemilih yang justru bertolak belakang dengan persentase suara sah atau tidak sahnya. Angka partisipasi justru menurun. Pada pemilu legislatif, angka partisipasi mencapai 75,56%, pada Pilpres I, menurun menjadi 72,23% dan Pilpres II anjlok menjadi 66,39%. Gambaran angka ini menimbulkan banyak argumentasi penyebabnya, antara lain, selain masalah kecerdasan memilih, juga bisa disebabkan faktor hubungan emosional (kedekatan) antara pemilih dengan calon pada setiap pemilihan tersebut. Ada pendapat yang mengemukakan, bahwa pada pemilu legislatif, pemilih memiliki hubungan kedekatan yang cukup signifikan dengan caleg dan parpol, bisa saja disebabkan hubungan kekeluargaan, intensitas caleg dalam mendorong pemilih ke TPS dll, sementara hubungan emosional ini, kurang berperan dalam pemilihan Presiden dan Wapres. Pada putaran pertama, partisipasi pemilih masih cukup tinggi, tapi di putaran kedua partisipasi tersebut anjlok. Bisa jadi calon atau jagoan tertentu tak mampu masuk ke putaran kedua.

Pendidikan pemilih merupakan bagian dari pendidikan politik. Pendidikan politik tidak hanya menjadi tanggungjawab penyelenggara, tapi menjadi domain partai politik. Dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan politik dilaksanakan dalam rangka untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.

Hal yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 13 UU Nomor 2 tahun 2008, bahwa partai politik berkewajiban melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya.

Secara lebih tegas lagi mengenai pendidikan politik dapat dilihat dalam Pasal 31 UU Nomor 2 tahun 2008, yang menyatakan bahwa Partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dan tujuannya antara lain :

a. Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

c. Meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa

Pada bagian lain pendidikan pemilih merupakan proses pencerdasan pemilih. Harusnya tidak terpaku hanya pada soal teknis pemilu saja, tapi juga cerdas dalam menganalisa dan menentukan pilihannya, sehingga perwakilan atau pemimpin yang dipilih tersebut betul-betul orang yang kredibel dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Ini artinya ada faktor lain yang diperlukan oleh pemilih, paling tidak, fator kemampuan analisa terhadap calon yang akan dipilih, namun faktor pengenalan teknis juga diperlukan agar suara yang diberikan itu bisa sah dan menjadi penentu.

Bagi penyelenggara pemilu, pendidikan pemilih itu diisi dengan memperjelas fungsi informasi pemilih, terutama yang berkenaan dengan pelaksanaan pemilihan secara demokratis berdasarkan prinsip-prinsip terarah, partisipasi publik, luber dan jurdil.

Sebagian besar penyebaran informasi pemilih bisa disajikan kepada publik melalui sosialisasi yang terstruktur. Prioritas pesan yang disampaikan antara lain sebagai berikut;

1. Proses pendaftaran pemilih

2. Tahapan dan jadwal pemilihan, terutama tentang kapan, di mana pemungutan suara dakan dilakukan, termasuk lokasi TPS

3. Metode atau cara “penconterangan” surat suara untuk menjamin sahnya suara yang diberikan

4. Metode penghitungan suara dan penentuan calon terpilih

5. Informasi lain tentang cara penyampaian keluhan, prosedur penyelesaian perselisihan hasil dan imbauan kepada pemilih untuk tidak tergiur dengan suap atau politik uang, imbauan memilih dengan hati nurani dan berdasarkan pertimbangan elegan.

Sasarannya adalah, para pemilih, terutama pemilih pemula sadar tentang proses pendaftaran menjadi pemilih, proses pemilihan, termasuk jadwal tentang kapan dan di mana pemungutan suara dilaksanakan di lingkungannya, tentang bagaimana cara memberikan suara agar sah, bagaimana suara itu dihitung. Pemilih juga diharapkan mengenal para calon yang bersaing dalam pemilihan dll.

Media yang digunakan dalam pendidikan pemilih ini, bisa berbentuk pertemuan langsung maupun tak lansung atau melalui media terpilih sesuai dengan segmentasi target. Ada banyak jenis media komunikasi yang bisa digunakan, antara lain media televisi, media cetak, elektornika,yang akan menyampaikan seruan, iklan dan melalui poster, leaflet dll. Sarana komunikasi yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan pendidikan pemilih adalah pertemuan kelompok masyarakat berpengaruh, seperti pemuka masyarakat, para guru di pedesaan, pengumuman keliling sebelum hari “H”.

Media center juga sangat membantu, untuk memudahkan wartawan dalam mengemas peristiwa dan proses pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara. Kemudahan akses bagi wartawan juga sangat menentukan penyebaran informasi pemilih yang menjadi bagian materi pendidikan pemilih tersebut.

Kesimpulan

1. Penyelenggara pemilu dituntut harus mendorong keterlibatan publik seluasnya melalui LSM dan lembaga nirlaba lainnya dalam menyebarkan informasi tentang adanya pemilihan. Peran LSM dan kelompok profesi seperti PWI bisa didorong tidak hanya memberikan informasi “tentang apa”, tapi juga “tentang mengapa”.

2. Sasaran pendidikan pemilih adalah tumbuhnya partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam pemilihan umum. Dengan adanya kesadaran berpolitik dari pemilih dapat menstimulus pemilih dan lingkungannya untuk secara aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih.

3. bahwa pendidikan pemilih tidak semata-mata menjadi tanggungjawab penyelenggara, tapi pemerintah dan partai politik juga mempunyai tanggungjawab yang besar dalam melakukan pendidikan pemilih ini.

4. Pendidikan pemilih pada Pemilu 2009 harus dikemas sedemikian rupa, lebih komplit karena perobahan undang-undang politik yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu 2009 diperkirakan menimbulkan kesulitan baru bagi pemilih, terutama cara pemberian suara yang tidak lagi dengan cara coblos, tapi dengan memberi satu kali (x) pada surat suara

[1] Disampakan pada workshop sehari “Pendidikan Pemilih Berbasis Jurnalisti”, kerjasama Depkominfo dan Mapilu PWI, di hotel Bumi Minang, Rabu, 2 April 2008

[2] Ketua KPU Provinsi Sumatera Barat, mantan Ketua PWI Cabang Sumbar dan wartawan Haluan Padang

Tidak ada komentar: